Perjalanan menuju tampuk kejayaan tertinggi Liga Primer
Inggris terasa sangat mendebarkan musim ini. Melalui ketegangan-ketegangan ditiap
pekannya, wajar saja jika bolamania
menobatkan BPL sebagai liga terketat sejagad di tahun ini. Selain La Liga Spanyol,
Liga Serie A Italia, Bundes Liga Jerman dll. Pembuktian striker eksplosif “Aguero”
di menit 90+ yang telah membenamkan asa sesaat MU di akhir duelnya melawan Sunderland,
serasa menjadi jaminan bahwa inilah real
drama di lapangan hijau.
Tapi benarkah demikian???
Tulisan ini hanya sekadar catatan ringan yang berupaya
melihat apakah ada kemungkinan terjadi “sesuatu” di balik drama di liga kekuasaan
Ratu Elizabeth II ini. Bisa ya, juga bisa tidak. Namun ada beberapa alasan
mengapa kita perlu mencurigai bahwa adanya kemungkinan bekerjanya invisible hand di balik ini semua.
Yang pertama, diantara negara-negara benua biru tentu
berlomba-lomba untuk mengklaim negaranya sebagai kiblat sepakbola saat ini.
mulai dari bundes liga, liga belanda dsb berupaya untuk merebut perhatian dunia
bahwa liga utama di negaranya lah yang paling “bola banget”. Ketika negara-negara tersebut memiliki tujuan yang
sama, tentunya akan terjadi persaingan untuk mendapatkan perhatian bolamania dunia. Persaingan tersebut
bisa saja secara fair maupun unfair. Atau bisa pula secara terlihat
ataupun tak terlihat. Secara sadar atau tidak sadar.
Salah satu cara rasional yang ditempuh adalah dengan
mengoleksi pemain-pemain top dunia yang ditempatkan di klub-klub di liga negara
tsb, bahkan juga dengan melakukan pembelian pemain secara jor-joran hingga
mencapai angka fantastis (lihat angka pembelian C. Ronaldo oleh Madrid)[1]. Cara
lainnya adalah dengan menjaga ketatnya persaingan di liga domestik negara
mereka hingga laga terakhir. Nah, untuk alasan ini tentu liga Inggris telah
menjalankan skenarionya dengan sempurna. Sehingga liga Inggris tetap menarik
untuk ditonton hingga “tetes terakhir” di musim ini.
Mengapa mereka (negara-negara tsb) berlomba-lomba untuk
mencapai predikat ini, setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, harga
diri. Predikat sebagai negara sepak bola tampaknya telah mengobsesi negara-negara
ini untuk menjadikan liga di negara mereka sebagai liga termenarik di dunia.
Karena jika ditanya selama ini darimanakah asal-muasal olahraga terpopuler di
dunia ini berasal, tidak ada jawaban yang memuaskan dan dapat diterima secara
ilmiah. Hampir di setiap negara berusaha mengklaim bahwa di negara mereka-lah
permainan ini untuk pertama kalinya ditemukan. Akan menjadi lucu jika sebagai
olahraga terpopuler tapi kabur tentang latar belakang sejarahnya. Inilah obsesi
pertama mereka, yaitu pengakuan sebagai penemu sepakbola. Dan jika ini tidak
mampu dilakukan, maka status sebagai negara yang memiliki kompetisi liga
domestik terbaik dunia-pun tidak mengapa.
Kedua, alasan yang sangat rasional berikutnya adalah “fulus”.
Semakin menarik suatu liga, semakin banyak mata tertuju kepadanya. Tentunya ini
akan menjelma sebagai lahan potensial bagi pengiklan yang ingin mempromosikan
produknya. Sebut saja seperti Samsung, Standard Chartered, KIA, AON, dsb.
Sponsor-sponsor ini merupakan kekuatan-kekuatan modal raksasa yang ingin “menduniakan”
produknya melalui media sepakbola yang terbukti telah mendunia. Inilah sistem
ekonomi kapitalisme global yang bekerja sebagai “mesin uap-nya” kawan-kawan. Mulai
dari penonton di stadion, jual-beli pemain dalam bursa transfer, pengiklan yang
mensosialisasikan produknya di wilayah stadion, hingga menyematkan iklan di jersey klub tersebut, merupakan lahan
potensial bagi pemilik modal (pemilik klub) untuk mengeruk keuntungan.
Sebagaimana klub-klub sepakbola tersebut telah
bertransformasi menjadi komoditas industri, maka sangat wajar pemilik modal
(pemilik klub) mencari keuntungan dari olahraga ini. Alasan karena mereka
(pemilik klub) sangat mencintai suatu klub, yang akhirnya bisa mendorong mereka
untuk membeli suatu klub bisa saja diajukan. Namun dalih itu sangat lemah dan
kurang meyakinkan.
engapa? Karena jika kita menggunakan cara
berfikir “pilihan rasional”, maka tidak ada satupun manusia sebagai makhluk
ekonomi ingin kehilangan harta bendanya. Dengan kata lain, tidak ada satupun pemilik
modal yang ingin uangnya dihamburkan secara sia-sia. Motivasi untuk mendapatkan
keuntungan finansial-lah yang menjadi jawaban mengapa mereka rela
menggelontorkan uang triliunan rupiah untuk memiliki sebuah klub sepakbola. Anggaplah
sebagai investasi, yang akan menjadi media untuk menghasilkan kran-kran dimana
uang akan mengalir. Logika industri yang dipakai adalah dengan memiliki klub
sepakbola sama artinya dengan memiliki pabrik-pabrik sebagai alat produksi
untuk menghasilkan uang.
To be continued gan...
demikianlah gan,, artikel yang saya kutip dari iasrama pangeran Antasari yogyakarta, ini semua sebagai media pembelajaran bagi kita semua,, agar bisa berpikir secara jauh kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar