Saat ini, di berbagai media (cetak, elektronik dan online), sedang riuh membicarakan tentang “dinasti politik” gubernur Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.
Berita dinasti politik ini berawal dari tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, terkait dugaan suap sengketa pemilukada Lebak yang melibatkan nama Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik kandung Ratu Atut.
Sejak ramai diberitakan tentang kasus Dinasti Ratu atut di pemerintahan banten, mengundang banyak pertanya’an serta kontroversi oleh masyarakat luas, dimana Yang menjadi sorotan adalah dinasti politik dan kerajaan bisnis keluarga Ratu Atut di Banten. Beberapa orang anggota keluarga terdekatnya menduduki jabatan-jabatan penting di propinsi Banten. Kerajaan bisnisnya pun menguasai beragam proyek besar di Banten.
Hampir semua kepala daerah, pejabat, dan politisi di Banten memiliki kekerabatan dengan Gubernur Ratu Atut, dari mulai tingkat Bupati, DPRD, Walikota, hingga DPRD RI. Dengan situasi kekerabatan seperti itu, kemungkinan akan mempermudah keluarga tersebut dalam berupaya melegalkan korupsi melalui pengokohan jaringan politik keluarga.
Tidak heran jika dalam suatu Provinsi terdapat dinasti politik di dalamnya, karena setiap pejabat yang terpilih di tempat yang strategis akan memprioritaskan keluarganya terlebih dahulu untuk masuk kedalam system pemerintahan yang di pimpinnya.
Tetapi dengan adanya dinasti politik seperti itu, mencuat pertanyaan yaitu apakah dinasti politik seperti itu di perbolehkan dalam system demokrasi di Indonesia ?. Dinegara yang katanya menjunjung tinggi system demokrasi, akan tercoreng apabila ada beberapa orang yang merusaknya. Ini akan berakibat pada semakin tinggi rasa ketidak percayaan masyarakat Indonesia terhadap system demokrasi yang ada di Negeri ini.
Lalu seperti apakah tanggapan teman-teman tentang hal ini...?
Wassalamualaikum wr wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar