Artikel ini adalah artikel yang ditulis oleh *Ahmad Rizky M. Umar, Mahasiswa
Fisipol UGM asal Banjarmasin. dan menurut saya layak untuk di publikasikan,
dan ini lah slengkapya artikel yang dia tulis.... cekedooot,,,
Terakhir saya datang ke Martapura untuk
silaturrahim dengan keluarga di sana, topik yang diperbincangkan adalah zuriyat
Syekh Arsyad Al-Banjari yang diterbitkan oleh Dalam Pagar. Menurut hitungan
dari pihak ibu, saya memang masuk keturunan beliau kesembilan. Kabar yang saya
dapatkan, rencananya 7 Syawal ini, akan digelar haul Syekh Arsyad
Al-Banjari di ruang induk Mesjid Jami Tuhfaturraghibien, Dalam Pagar Ulu,
Martapura. Saya memang tidak ikut karena punya pandangan yang agak berbeda
dalam hal ini.
Namun demikian, kita tidak dapat memungkiri
bahwa Syekh Arsyad memang ulama besar di Tanah Banjar. Dan ada satu dimensi
yang menurut saya sering terlupakan dari beliau dan hanya sedikit yang
mengikutinya dari segenap murid dan pengikut beliau, yaitu dimensi
intelektualitas. Kendati telah meninggal dua ratus tahun silam, dimensi ini
masih tetap dan selalu relevan sampai saat ini. Tulisan ini mencoba untuk
mengelaborasi hal ini secara lebih mendalam.
Jarang ada yang mengkategorikan Syekh Arsyad
Al-Banjari sebagai seorang intelektual. Kebanyakan lebih melihat beliau sebagai
seorang mufti Kerajaan Banjar dan ulama besar. Yang saya maksudkan intelektual
di sini adalah apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai intelektual profetik,
mereka yang memiliki pengetahuan dan mengembangkan aktivitas berpengetahuan
dengan semangat mewarisi amanat kenabian, yaitu membawa manusia dari zhulumaat
ilaa nur; dari kegelapan (kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, dll)
menuju cahya (pengetahuan, kemajuan, pembebasan, dlsb).
Sisi-sisi intelektualitas Syekh Arsyad ini
kerap terpinggirkan oleh kultus individu yang berlebihan. Akibatnya, proyek
intelektual yang sebenarnya sudah dirintis oleh Syekh Arsyad melalui
kitab-kitab fiqhnya -sebagai ajang pencerahan bagi masyarakat- mandeg. Padahal,
sisi ini penting untuk diangkat kembali sebagai sebuah diskursus bagi
penyambungan kembali rantai intelektualitas umat Islam, terutama di tanah
Banjar.
Syekh Arsyad Al-Banjari adalah ulama
paling terkemuka di Tanah Banjar, mufti besar Kesultanan Banjar pada era Sultan
Tahmidullah II,. Beliau menulis beberapa kitab penting, antara lain Tuhfaturraghibien
yang menjadi rujukan dalam masalah aqidah, Faraidl yang membahas
soal hukum waris, Parukunan yang banyak mengupas soal ibadah, serta masterpiece
beliau, yaitu kitab Sabilal Muhtadin yang membahas secara
komprehensif persoalan fiqh dan hal-hal kemasyarakatan lain.
Syekh Arsyad Al-Banjari juga mendirikan
sebuah pesantren (kemudian berkembang menjadi school of thought tersendiri),
yaitu Dalam Pagar, Martapura. Pesantren tersebut didirikan di atas sebidang
tanah pemberian Sultan, berlokasi dekat Kayutangi, ibukota Kesultanan Banjar.
Beliau mendirikan fondasi pemikiran mazhab Syafi'i yang khas Banjar, dengan
basis sekolah yang beliau dirikan serta produktivitas penulisan kitab-kitab
fiqh. Dimensi ini yang saya rasa kerap terlupakan dalam kenangan mengenai
Syekh Arsyad Al-Banjari.
Ada beberapa peneliti yang menulis tentang
Syekh Arsyad. Sebut saja, misalnya, Darliansyah Hasdi (Alm) yang meneliti
metode istinbath hukmi (epistemologi hukum Islam) yang digunakan oleh
Syekh Arsyad. Upaya Darliansyah Hasdi sangat patut diapresiasi karena
memudahkan kita untuk melihat rantai intelektualitas yang sudah coba
disambungkan oleh Syekh Arsyad. Dalam bidang ilmu-ilmu agama, di kemudian hari,
Banjar menjadi salah satu lokus keilmuan yang dipertimbangkan dalam mazhab
syafi'i (ditambah dengan Syekh Nafis Al-Banjari di bidang tasawuf).
Dalam catatan Darliansyah Hasdi, walaupun
Syekh Arsyad adalah seorang penganut Mazhab Syafi'i, cara beliau dalam
menetapkan hukum ternyata tidak 100 persen menggunakan ka'idah syafi'iyah, melainkan
juga menggunakan kaidah lain yang dikombinasikan secara kreatif sesuai dengan
kondisi masyarakat. Misalnya, dalam hal memakamkan mayat dengan menggunakan tabela
(peti mati), beliau menyatakan "boleh" jika tanah tempat makam
tersebut rupuy atau berair (sering terjadi di Banjarmasin). Menurut
Darliansyah, metode pengambilan hukum tersebut dilakukan secara induktif atau
kontekstual, tidak melulu terpaku pada teks.
Itulah sebabnya, Syekh Arsyad memiliki posisi intelektual sendiri
sebagai seorang cendekiawan dalam bidang fiqh. Apa yang bisa kita
tangkap dari fakta tersebut? Membaca Syekh Arsyad Al-Banjari bukan sekadar
membaca "produk hukum" dari fatwa-fatwa beliau lantas mengamalkannya
secara fanatik. Membaca Syekh Arsyad Al-Banjari berarti membaca nalar
intelektual yang beliau hadirkan sehingga bisa bermanfaat bagi sekalian
masyarakat Banjar.
Dimensi intelektualitas tersebut setidaknya
tercermin dari tiga hal: Pertama, kegigihan dalam mempelajari realitas
sosial lantas menuliskannya. Beliau adalah ulama yang sangat produktif dalam
menulis kitab, baik fiqh maupun aqidah. Dengan tulisan, gagasan beliau menjadi
relevan dan menembus batas ruang serta waktu. Kitab menjadikan gagasan beliau
menjadi rujukan dalam penulisan-penulisan lain. Inilah yang membedakan beliau
dengan ulama-ulama lain, yaitu tradisi penulisan yang masih sangat kuat
terjaga.
Kedua, semangat pengajaran dan pengkaderan intelektual.
Beliau melakukan pengkaderan melalui pesantren Dalam Pagar, yang
modalnya diberikan oleh Sultan Banjar. Jadi, jika diibaratkan, Dalam Pagar
adalah semacam 'institut/universitas' bagi kerajaan banjar dulu, hanya saja
terbatas di bidang pengajaran ilmu-ilmu agama. Sehingga, jika menddukkan Dalam
Pagar hanya sebatas kediaman Tuan Guru atau Urang Alim, kita sudah
mereduksi posisi intelektualitas Dalam Pagar itu sendiri. Kaderisasi
intelektual di Dalam Pagar inilah yang, menurut saya, menjadikan Banjar pernah
punya School of Thought sendiri.
Ketiga, semangat pengabdian kepada
masyarakat secara organik dan independensi seorang intelektual. Perlu dicatat,
meskipun Syekh Arsyad Al-Banjari pernah menuntut ilmu di Mekkah atas biaya
Kesultanan Banjar, beliau tetap adalah orang biasa. Dan ini mempengaruhi
posisinya selepas datang ke tanah air. Beliau lebih memilih tinggal di Dalam
Pagar daripada Keraton di Kayutangi (sekarang Martapura) agar dapat mengabdi
kepada masyarakat lebih banyak. Sebabnya adalah kondisi sosial masyarakat yang
membutuhkan ulama yang benar-benar menabdi. Di sinilah peran vital beliau
sebagai intelektual organik, yang bergerak dalam lingkup dan kondisi
masyarakat.
Dalam semangat peringatan 206 Tahun meninggalnya
Syekh Arsyad Al-Banjari yang diperingati oleh masyarakat melalui haulan, saya
ingin mengajukan sebuah perspektif yang berbeda: mari mengenang Syekh Arsyad
dengan 'menyambung' rantai intelektualitas yang telah beliau pasang 200 tahun
silam.
Mengenang Syekh Arsyad berarti melanjutkan jejak
perjuangan beliau sebagai seorang intelektual dalam era yang lebih kontemporer.
Jika dulu Syekh Arsyad Al-Banjari tampil ke masyarakat sebagai seorang ahli fiqh,
karena masyarakat membutuhkan, maka sekarang kita memerlukan hadirnya
"Syekh Arsyad-Syekh Arsyad" baru yang ahli dalam ilmu kedokteran,
hukum, Hubungan Internasional, Politik, dan lain sebagainya.
Mengenang Syekh Arsyad berarti bersiap untuk
menjadi generasi intelektual dari tanah Banjar. Dan tantangan zaman semakin
kompleks. Kita sedang dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin membuat
Bangsa dan Tanah Air kita berada dalam posisi yang sangat dilematis. Pada
konteks situasi inilah keberadaan penyambung rantai intelektual Syekh Arsyad
itu diperlukan. Generasi pengetahuan yang pnya integritas, independensi,
kapasitas, dan produktivitas sangat diharapkah untuk hadir dari tanah Banjar!
Untuk itulah, kita perlu merevitalisasi
praktik-praktik berpengetahuan kita. Jika merenungi perjuangan Syekh Arsyad
Al-Banjari dulu dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan pengetahuan kita
hari ini, sudahkah, sebagai seorang intelektual, menuliskan gagasan-gagasan
kita dalam jurnal-jurnal ilmiah, artikel dimajalah/koran, maupun sekadar
catatan yang dapat diakses di dunia maya? Sudahkah kita, sebagai orang yang
mengikuti Syekh Arsyad Al-Banjari, aktif bertukar pikiran dan ilmu kepada
masyarakat melalui forum diskusi/pengajian? Atau, sudahkah berkontribusi
mengubah Tanah Banjar ini menjadi lebih baik,sekecil apapun?
Jika belum, mari kita bersama-sama memaknai dan
mengenang perjuangan Syekh Arsyad Al-Banjari dengan membangun generasi
pengetahuan baru di Tanah Banjar. Mungkin, dibanding berdoa di makam beliau,
aktivitas kita seperti ini akan mengalirkan pahala yang lebih kepada beliau dan
kepada diri kita sendiri, sesuai dengan sabda nabi tentang amal yang terus
mengalir walaupun telah meninggal dunia: ilmu yang bermanfaat.
Selamat Idul Fitri 1433 H, Ja'alanallahu
Minal A'idin Wal Fa'idzin, Semoga hadir generasi baru Syekh Arsyad
Al-Banjari di tanah Banjar ke depannya!
Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun.
*Ahmad Rizky M. Umar, Mahasiswa
Fisipol UGM asal Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar